Anak Berkebutuhan Khusus: Tunagrahita
Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuai intelektual di bawah rata-rata. Tunagrahita berasal dari kata tuna yang artinya merugi dan grahita berarti pikiran. Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental yang berarti terbelakang secara mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal (Soemantri, 2007).
APA (American Psychological Assosiation) pada tahun 2000 (Nevid, Rathus & Greene, 2003) menjelaskan bahwa retardasi mental merupakan keterlambatan yang dialami oleh seseorang yang mencangkup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial. Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Nevid, Rathus & Greene (2003), retardasi mental adalah keterlambatan atau hendaya secara umum pada perkembangan intelektual dan kemampuan-kemampuan adaptif.
AAMR (American Association on Mental Retardation) menjelaskan lebih spesifik mengenai definisi dari retardasi mental. Menurut AAMR (Mangunsong, 2009), retardasi mental merupakan keterbatasan seseorang yang signifikan dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melalui kemampuan adaptif konseptual, sosial dan praktikal.
Klasifikasi Tunagrahita
Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ (APA dalam Nevid, 2003) yaitu :
Derajat Keparahan Perkiraan Rentang IQ Jumlah Penyandang Retardasi Mental dalam Rentang ini
Retardasi mental ringan (mild) 55-70 Kira-kira 85 %
Retardasi mental sedang (moderate) 40-55 10 %
Retardasi mental berat (severe) 25-40 3-4%
Retardasi mental parah (profound) Dibawah 25 1-2%
Sedangkan AAMR (Mangunsong, 2009) melakukan klasifikasi pada anak tunagrahita tidak berdasarkan IQ, melainkan berdasarkan seberapa besar dukungan atau bimbingan yang dibutuhkan oleh anak tunagrahita. Hal ini disebabkan karena anak tunagrahita dapat menunjukkan kemajuan melalui dukungan/bimbingan yang tepat.
Intermittent: Anak mendapatkan dukungan atau bimbingan hanya seperlunya. Kebutuhan akan bimbingan hanya bersifat episodik (tidak selalu) atau jangka pendek (hanya di saat masa transisi dalam kehidupan, misalnya kehilangan pekerjaan, krisis dalam medis, dll).
Limited Bimbingan diperlukan secara konsisten, hanya pada saat-saat tertentu saja tetapi tidak seperti intermittent. Membutuhkan beberapa anggota staf dan biaya yang tidak terlalu besar karena bimbingan tidak terlalu intensif seperti pelatihan untuk pekerja, bimbingan transisional menjelang anak memasuki masa dewasa.
Extensive: Bimbingan diperlukan dengan adanya keterlibatan secara reguler, teratur dalam suatu lingkungan tertentu (misalnya sekolah, tempat kerja atau rumah) dan tidak terbatas waktunya (misalnya dukungan jangka panjang).
Pervasive: Bimbingan sangat diperlukan, konstan, intensitasnya sangat tinggi, pada berbagai jenis lingkungan. Bimbingan melibatkan lebih banyak staf anggota yang turut campur tangan dalam banyak hal.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah tingkat kecerdasan anak tunagrahita, maka bimbingan maupun pendampingan yang diperlukan juga semakin besar. Walaupun demikian, masih terlalu dini untuk menggantikan klasifikasi tunagrahita yang berdasarkan IQ dengan klasifikasi yang baru yang dikemukakan oleh AAMR karena pada kenyataannya penggolongan berdasarkan IQ masih digunakan hingga saat ini.
Karakteristik Tunagrahita
Mangunsong (2009) menyimpulkan beberapa karakteristik anak tunagrahita berdasakan tingkat IQ :
Retardasi mental ringan (mild)
• Mampu didik (dapat bersekolah di sekolah umum, meskipun sedikit lebih rendah daripada anak normal pada umumnya)
• Tidak menunjukkan kelainan fisik yang mencolok meskipun perkembangan fisiknya sedikit lebih lambat.
• Kurangnya kemampuan dalam hal kekuatan, kecepatan dan koordinasi.
• Sering memiliki masalah kesehatan
• Sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu lama
• Mengalami frustasi ketika diminta berfungsi secara sosial atau akademis sesuai usia mereka.
• Terkadang memperlihatkan rasa malu atau pendiam.
Retardasi mental sedang (moderate)
• Mampu latih (dapat berlatih kemampuan tertentu).
• Dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri serta dilatih beberapa kemampuan membaca dan menulis sederhana.
• Jika dipekerjakan, membutuhkan lingkungan kerja yang terlindungi dan juga dengan pengawasan.
• Kurangnya kemampuan dalam mengingat, menggeneralisasi, bahasa, konseptual, perseptual dan kerativitas sehingga perlu diberikan tugas yang simpel, singkat, relavan, berututan.
• Menunjukkan kelainan fisik yang merupakan gejala bawaan.
• Koordinasi fisik yang buruk dan akan mengalami masalah di banyak situasi sosial.
• Adanya gangguan fungsi bicara.
Retardasi mental berat (severe)
• Memiliki banyak permasalahan dan kesulitan.
• Membutuhkan perlindungan dan pengawasan yang teliti.
• Membutuhkan pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus karena tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
• Sedikit melakukan interaksi sosial.
• Mengalami gangguan berbicara. Hanya dapat berkomunikasi secara vokal setelah pelatihan intensif.
• Terdapat tanda-tanda kelainan fisik : lidah sering menjulur keluar bersamaan dengan air liur dan kepala sedikit lebih besar.
• Kondisi fisik lemah sehingga hanya dapat dilatih keterampilan khusus selama kondisi fisiknya memungkinkan.
Retardasi mental parah (profound)
• Memiliki permasalahan yang serius terkait dengan kondisi fisik, inteligensi serta program pendidikan yang tepat.
• Menunjukkan kerusakan pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus, mongolism.
• Kelainan fisik lainnya dapat dilihat pada kepala yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang.
• Kemampuan berbahasa sangat rendah.
• Interaksi sosial terbatas.
• Penyesuaian diri sangat kurang
• Membutuhkan penanganan medis yang baik dan intensif.
Delphie (2006) menyebutkan karakteristik dari anak tunagrahita yaitu :
1. Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.
2. Selalu bersifat external locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan.
3. Suka meniru perilaku yang benar dari oranglain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan.
4. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
5. Mempunyai permasalahan yang berkaitan dengan perilaku sosial.
6. Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
7. Mempunyai masalah yang berkaitan dengan kesehatan fisik.
8. Kurang mampu untuk berkomunikasi.
9. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.
Defisit Tunagrahita
Menurut Mangunsong (2009) ada beberapa defisit yang dialami oleh anak tunagrahita, yaitu :
Atensi
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam belajar. Anak tunagrahita sering memusatkan perhatian pada benda yang salah dan sulit untuk mengalokasikan perhatian mereka dengan tepat.
Daya ingat
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi. Permasalahan yang sering dialami berkaitan dengan working memory, yaitu kemampuan menyimpan informasi tertentu dalam pikiran sementara melakukan tugas kognitif lain.
Perkembangan bahasa
Anak tunagrahita memiliki perkembangan bahasa yang terlambat muncul, lambat mengalami kemajuan dan berakhir pada tingkat perkembangan yang lebih rendah. Selain itu juga, mereka mengalami masalah dalam memahami dan menghasilkan bahasa.
Self regulation
Anak tunagrahita kesulitan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri dan kesulitan dalam menentukan strategi self regulation-nya.
Perkembangan sosial
Anak tunagrahita sulit mendapatkan teman dan sulit untuk mempertahankan sebuah pertemanan karena (1) mereka tidak tahu bagaimana memulai interaksi sosial dengan oranglain dan (2) ketika mereka tidak sedang berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain, mereka mungkin menunjukkan perilaku yang membuat teman-temannya menjauh.
Motivasi
Permasalahan yang dialami oleh anak tunagrahita cukup menimbulkan banyak resiko untuk mengembangkan masalah motivasi. Karena mereka selalu mengalami kegagalan maka dapat beresiko untuk mengembangkan kondisi learned helplesness, dimana munculnya perasaan bahwa seberapa besarnya usaha mereka, pasti akan gagal. Akhirnya mereka akan cenderung putus asa.
Prestasi akademik
Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam prestasi akademik karena hal ini berkaitan dengan intelegensi yang dimilikinya.
Faktor yang Menyebabkan Tejadinya Tunagrahita
Menurut Mangunsong (2009), ada 2 faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1. Faktor Ekternal
a. Malnutrisi pada ibu yang tidak menjaga pola makan.
b. Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa menimbulkan kerusakan pada plasma init. Misalnya karena penyakit sipilis, racun dari kokain, heroin, tembakau dan alkohol.
c. Radiasi, misalnya sinar X-rays atau nuklir
d. Kerusakan pada otak waktu kelahiran. Misalnya lahir karena alat bantu, lahir prematur atau LBW (Low Birth Weight).
e. Panas yang terlalu tinggi. Misalnya pernah sakit keras, typhus dan cacar.
f. Infeksi pada ibu. Misalnya rubella (campak Jerman), syphilis dan herpes simplex.
g. Gangguan pada otak. Misalnya ada tumor otak, anoxia (deprivasi oksigen), infeksi pada otak, hydrocephalus atau microcephalus.
h. Gangguan fisiologis seperti down syndrome, cretinism.
i. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan. Misalnya anak dibesarkan dilingkungan yang buruk.
2. Faktor Internal
Faktor internal ini meliputi faktor keturunan yang dapat berupa gangguan pada plasma inti atau chromosome abnormality.
Nevid dkk (2003) juga mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tunagrahita :
1. Abnormalitas kromosom, seperti down syndrome.
Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah down syndrome yang ditandai dengan adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke-21, sehingga menyebabkan jumah kromosom menjadi 47, bukan 46 seperti individu normal (Wade dalam Nevid dkk, 2003). Kondisi ini biasanya terjadi bila pasangan kromosom ke-21 pada sel telur atau sperma gagal untuk membelah secara normal sehingga mengakibatkan ekstra kromosom. Abnormalitas kromosom akan lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia orangtua. Oleh karena itu, pasangan yang berada pada usia pertengahan 30 atas lebih yang sedang menantikan seorang bayi, sering menjalani tes geneteris prenatal untuk mendeteksi down syndrome atau abnormalitas genetis.
Anak down syndrome dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar dan adanya lipatan kcil yang mengarah ke bawah pada kulit bagian ujung mata yang memberikan kesan sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung dan ukuran kaki yang kecil yang tidak proporsional.
Pada awalnya, kecepatan perkembangan anak down syndrome mendekati anak-anak normal, tetapi ketika mereka mulai memasuki usia pra sekolah, secara umum perkembangannya mengalami keterlambatan (Mangunsong, 2009). Hampir semua anak down syndrome mengalami permasalahan yang berkaitan dengan fisik seperti gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernapasan. Sebagian besar, anak down syndrome meninggal pada usia pertengahan. Pada akhir tahun kehidupan, mereka cenderung kehilangan ingatan dan mengalami emosi yang kekanak-kanakan.
Anak down syndrome, mengalami berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan.
a. Mereka cenderung tidak terkoordinasi dan kurang memiliki tekanan otot yang cukup sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan terlibat dalam aktivitas bermain seperti anak-anak lain.
b. Defisit memori khususnya untuk informasi yang ditampilkan seara verbal, sehingga sulit untuk belajar di sekolah
c. Mengalami kesulitan mengikuti instruksi dari guru
d. Mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pemikiran dan kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal.
2. Abnormalitas genetik, seperti fragile x syndrome
Fragile x syndrome merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan (Kwon dalam Nevid dkk, 2003). Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental yang paling sering muncul setelah down syndrome. Gangguan ini dipercaya disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X. Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut fragile x syndrome. Efek dari fragile x syndrome berkisar antara gangguan belajar ringan hingga retardasi parah yang bisa menyebabkan gangguan bicara dan fungsi yang berat.
Perempuan biasanya memiliki dua kromosom x, sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki 2 kromosom x tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini bila kerusakan terjadi pada salah satunya (Angies dalam Nevid dkk, 2003). Oleh sebab itu, gangguan ini lebih berdampak parah pada anak laki-laki dibandingkan perempuan.
3. Infeksi janin atau penyahgunaan obat pada ibu hamil.
4. Penyebab-penyebab budaya-keluarga.
Kirk & Johnson (Suparlan, 1983), menyebutkan ada 4 sebab pokok yang menyebabkan terjadinya tunagrahita :
1. Kelukaan pada otak (brain injures)
2. Gangguan fisiologis (physiological disturbances)
3. Faktor-faktor keturunan (hereditary factors)
4. Pengaruh kebudayaan (cultural influences)
Cara Mengidentifikasi Tunagrahita
Menurut Armatas (2009), langkah pertama dan yang paling penting untuk melakukan diagnosis retardasi mental adalah dengan menelusuri riwayat anak dan keluarganya, terutama ibu seperti menanyakan kondisi kesehatan saat hamil dan hal-hal yang dilakukan oleh ibu selama proses kehamilan seperti penggunan tembakau, alkohol, obat-obatan, infeksi, sakit serius dan gaya hidup.
Hallan dan Kauffman (Mangunsong, 2009), menekankan adanya empat metode yang dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi dari janin. Hal ini berkaitan dengan kondisi prenatal yang buruk yang dapat menyebabkan seseorang menderita cacat mental.
1. Amniocentesis
Memasukkan jarum ke dinding perut ibu yang hamil untuk mengambil sampel cairan amniotik dari kantung di sekitar janin kemudian dianalisis sel-sel pada janinnya.
2. Chorionic villus sampling
Memasukkan kateter melalui vagina ibu hamil untuk mengambil sampel struktur yang nantinya menjadi plasenta yang disebut villi,kemudian dites.
3. Muchal translucency sonogram
Pengukuran cairan di belakang leher janin dan protein dalam darah ibu.
4. Maternal serum screening
Memeriksa sampel darah ibu untuk mendeteksi adanya elemen-elemen yang mengindikasikan kemungkinan spindal bifida atau down syndrome.
Sedangkan asesmen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang mengalami tunagrahita dilakukan dengan cara melakukan tes intelegensi dan keterampilan adaptif (Hallahan dan Kauffman dalam Mangunsong, 2009). Untuk mengukur tingkat kecerdasan, dapat dilakukan tes intelegensi pada anak. Tes IQ yang biasa digunakan adalah WISC-1V (Weschler Intelligence Scale for Children-Fourth Edition). Sedangkan pengukuran keterampilan adaptif dapat diperoleh melalui orangtua atau orang yang familiar dengan anak misalnya guru. Format dasar instrumen ini yaitu dengan meminta orang tua, guru atau orang terdekat lainnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan anak yang menunjukkan keterampilan adaptifnya (komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial, fungsi akademis, waktu luang, dll). Pengukuran keterampilan adaptif dapat diambil melalui Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS), AAMR Adaptive Behavior Scale-School Edition;2, dan the Adaptive Behavior Scale for Infants and Early Childhood.
Dampak Tunagrahita
Somantri (2007) menjelaskan bahwa orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orangtua dan keluarga anak tersebut termasuk saudara-saudaranya yang juga akan menghadapi hal-hal yang bersifat emosional. Oleh sebab itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko prikiatri keluarga.
Saat yang kritis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak mereka tidak normal seperti anak lainnya. Jika anak tersebut menunjukkan gejala-gejala kelainan fisik, maka kelainan anak tersebut dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orangtua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan. Reaksi yang diberikan oleh masing-masing orangtua akan berbeda-beda. Hal ini dapat dibagi menjadi :
1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan :
a. Proteksi biologis
b. Perubahan emosi yang tiba-tiba :
• Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.
• Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dengan mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya.
• Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa memberikan kehangatan.
• Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.
2. Perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, kemudian terjadi praduga yang berlebihan dalam hal :
a. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, perasaan ini mendorong timbulanya suatu perasaan depresi.
b. Merasa kurang mampu mengasuhnya, perasaan ini menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak normal :
a. Karena kehilangan kepercayaan tersebut orangtua cepat marah dan menyebabkan tingkah laku agresif.
b. Kedudukan tersebut dapat mengakibatkan depresi.
c. Pada permulaan, mereka segara mampu menyesuaikan diri sebagai orangtua anak tunagrahita, akan tetapi mereka terganggu lagi saat menghadapi peristiwa-peristiwa kritis seperti saat memasuki usia sekolah, meninggalkan sekolah dan saat orangtua bertambah tua sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.
4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, kemudian berkonsultasi untuk mendapat berita-berita yang lebih baik
5. Perasaan bingung dan malu yang mengakibatkan orangtua kurang suka bergaul dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.
Mangunsong (2009) menyebutkan beberapa dampak yang diterima oleh anak tunagrahita :
1. Bidang pendidikan
Anak tunagrahita membutuhkan pendidikan khusus yang bertujuan untuk membantu anak dalam mencapai penyesuaian diri setelah mereka selesai pendidikan dasar, pada usia 17 tahun sehingga pada usia 18 keatas diharapkan nantinya mereka dapat memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu. Kelas khusus atau sekolah khusus untuk anak tidak menghasilkan keuntungan akademis apapun, jika kurang diberikan latihan untuk sosialisasi.
2. Masyarakat
Karena masyarakat hanya menaruh sedikit harapan kepada anak tunagrahita maka hal ini dapat menjadi hambatan bagi mereka. Beberapa studi menjelaskan bahwa kegagalan anak tunagrahita dalam melakukan pekerjaan bukan karena ketidakmampuan mereka tetapi karena interaksi sosial di antara mereka. Padahal harga diri mereka didasarkan dan dipengaruhi oleh harapan-harapan dan umpan balik dari oranglain/masyarakat terhadap mereka. Konsekuensi lain dari pandangan negatif masyarakat terhadap anak tunagrahita adalah mereka tidak hanya dihalang-halangi untuk melakukan apa yang mereka bisa lakukan, tetapi mereka juga dihalang-halangi untuk mengembangkan keterampilan yang sebenarnya mereka mampu lakukan.
3. Penyesuaian sosial
Pada dasarnya anak tunagrahita mengalami permasalahan ketika mereka harus keluar dari kehidupan di sekolah karena mereka mulai beranjak dewasa. Para peneliti merasa bahwa penyesuaian diri anak tunagrahita yang sudah dewasa, harus menyerupai penampilan orang dewasa lainnya yang normal walaupun sebenarnya mereka mengalami hambatan dalam penyesuaian diri.
Komponen penyesuaian sosial ini mencakup penyesuaian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, penyesuaian dalam keluarga, penyesuaian dalam pekerjaan dan penyesuaian dalam kehidupan senggang serta kehidupan sosial mereka.
H. Model Pendidikan dan Intervensi Untuk Tunagrahita
Mangunsong (2009) menyebutkan beberapa intervensi bagi anak tunagrahita:
1. Pendidikan khusus untuk anak tunagrahita yang dikelompokkan dalam klasifikasi tunagrahita ringan di SLB/C dan tunagrahita sedang di SLB/C1.
2. Pendidikan inklusif
Untuk memfasilitasi terjadinya integrasi dengan lingkungan umum, pendidikan inklusif menyarankan agar siswa yang mengalami keterbelakangan mental diberikan kurikulum yang menekankan kemampuan praktis sesuai dengan tingkat usia kronologisnya, bukan usia mental seperti yang dahulu digunakan. Program pendidikan bagi siswa ini terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Intruksi sistematis yaitu pemberian respon sesegera mungkin setelah tingkah laku atau performa, dan strategi-strategi untuk mentransfer kontrol terhadap stimulus. Respon tersebut dapat berbentuk verbal, gerak, fisik dan modeling.
b. Instruksi dalam situasi kehidupan nyata dengan material sebenarnya. Akan lebih baik mengajarakan kemampuan hidup sehari-hari di setting aktual, dimana siswa ini dapat melakukannya.
c. Pengukuran tingkah laku fungsional (FBA) serta dukungan terhadap tingkah laku positif (PBS). Hal ini bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan tingkah laku siswa yang tidak baik di kelas seperti menggigit, memukul atau berteriak. FBA mencakup penentuan konsekuensi, anteseden dan situasi yang memicu tingkah laku tersebut. Sedangkan PBS, dapat digunakan untuk menemukan cara mendukung tingkah laku positif siswa.
Ada beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan program pendidikan bagi anak tunagrahita (retardasi mental). Misalnya dalam upaya untuk meningkatkan kosakata anak tunagrahita ringan, Febrisma (2013) melakukan penelitian menggunakan metode bermain peran. Kelebihan dari metode ini adalah siswa lebih tertarik perhatiannya kepada pelajaran, anak dapat berperan sebagai dirinya sendiri atau berperan sebagai orang lain sehingga lebih mudah untuk memahami masalah sosial. Hasil dari penerapan metode bermain peran ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan anak dalam kosakata kerja dan kosakata benda dengan benar.
Berkaitan dengan modeling, Susanti (2013) melakukan penelitian dengan menggunakan modeling dalam upaya meningkatkan kemampuan menggunakan seragam sekolah bagi anak tunagrahita ringan. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan media model yang dilaksanakan dengan memberikan penjelasan, peragaan, dan proses meniru kepada anak serta dengan mengadakan perlombaan memasang seragam sekolah dengan reward yang bervariasi sehingga mampu menciptakan sistem pembelajaran yang menyenangkan dan menunjukkan kegairahan serta semangat anak dalam mengikuti proses pembelajaran.
Beberapa modifikasi intruksional juga dapat dilakukan dalam kelas inklusif dengan anak tunagrahita seperti yang dikemukakan oleh Matropieri dan Scruggs (Mangunsong, 2009) :
a. Membuat tujuan prioritas untuk siswa keterbelakangan mental dan ajarkan mereka hal-hal yang berhubungan langsung dengan tujuan prioritas tersebut.
b. Adaptasi bahan-bahan/material berdasarkan kebutuhan siswa.
c. Adaptasi instruksi dengan menyediakan contoh-contoh kongkrit dan bermakna, sediakan review, dan dorong anak untuk berpikir secara independen.
d. Berkomunikasi dengan keluarga untuk memahami siswa lebih dalam dan menambah informasi mengenai bagaimana siswa mengerjakan yang terbaik.
e. Adaptasi evaluasi dengan menggunakan tes invidu, pengukuran portofolio, rekaman video atau tape,
f. Menggunakan kurikulum khusus yang dibuat berdasarkan klasifikasi anak tunagrahita ringan, sedang dan berat.
Menurut Nevid dkk (2003), ada beberapa penanganan yang dapat diberikan untuk anak tunagrahita :
1. Psikoedukasi untuk mendorong perkembangan keterampilan akademik dan perilaku adaptif.
2. Pelatihan keterampilan sosial yang fokus pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan secara efektif dengan oranglain
3. Pelatihan pengelolaan amarah untuk membantu individu mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatasi konflik tanpa bertindak agresif
4. Perawatan di institusi juga diperlukan bagi kasus-kasus yang berat
Sedangkan Mangunsong (2009), menguraikan beberapa bentuk penanggulangan yang dapat diberikan kepada orang-orang terdekat dari anak tunagrahita:
1. Jalur keluarga
a. Lakukan pertemuan antar orangtua
Keluarga yang memiliki situasi hidup yang serupa dapat memberikan dukungan emosional, penguatan dan informasi praktis pada level individual karena mereka dapat berbagai perasaan dan kekhawatiran yang serupa, dan perhatian mereka bersifat otentik dan mendalam terutama dalam membantu orangtua baru yang mengalami stres dan kesedihan.
b. Home based individualized teaching programmes
Sosok ibu merupakan orang yang dianggap paling tepat dan sesuai untuk mengajar anak-anaknya sendiri. Home teacher mengunjungi secara berkala, dimana orangtua diajak dan dilatih untuk kritis mengobservasi, memusatkan perhatian pada fase-fase perkembangannya untuk dapat bereaksi dengan tepat.
c. Mother child group
Merupakan salah satu bentuk self help group. Anak-anak dibawa bersama dengan ibunya. Sebaiknya ada pemimpin kelompok, yang mempunyai pengetahuan mengenai kebutuhan anak dan dapat menyarankan aktivitas tertentu bagi anak.
d. Orangtua harus bisa memperhatikan dan menentukan saat yang tepat/kritis dimana anak diberikan program pengajaran, karena ini sangat menentukan keberhasilannya di masa mendatang.
e. Memberikan strategi belajar yang tepat dengan cara memberikan stimulasi yang tepat, baik dalam intensitas, frekuensi dan lamanya stimulasi itu diberikan.
f. School based parents workshop
Workshop yang berisi variasi topik yang sangat luas dan memberi kesempatan bagi orangtua dan guru untuk dapat bekerjasama.
2. Jalur sekolah
a. Menyediakan fasilitas yang lebih baik untuk mereka. Hal ini berkaitan dengan pendekatan multidisipliner yang melibatkan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu yang diberikan.
b. Memperluas kesempatan belajar melalui peningkatan pelayanan pendidikan khusus dalam jumlah maupun intensitasnya.
c. Peningkatan tenaga guru serta alat fasilitas pendidikan yang diperlukan sekolah secara bertahap.
3. Jalur masyarakat
a. Ceramah, seminar atau psikoedukasi melalui media masa yang ditujukan kepada masyarakat dengan harapan sikap mereka terhadap anak tunagrahita dapat berubah.
b. Menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai
c. Supported living dimana orang-orang keterbelakangan mental memperoleh bimbingan hidup dalam setting natural dan noninstitusional.
Intervensi yang diberikan kepada anak tunagrahita maupun orang terdekatnya telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satu penelitian yang berkaitan dengan intervensi untuk anak tunagrahita, Tomasulo (2014) menyimpulkan dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan bahwa terapi kelompok memberikan pengaruh yang cukup besar bagi orang dewasa dengan gangguan mental dalam menemukan bantuan untuk memiliki kehidupan yang lebih produktif dan bermakna dalam peningkatan hubungan mereka.
Sedangkan salah satu penelitian yang berkaitan dengan intervensi untuk orang terdekat anak tunagrahita, dilakukan oleh Matsithoh, Aisyah dan Sholihah (2014) yang menggunakan terapi suportif kelompok untuk melihat pengaruh terapi tersebut terhadap beban keluarga dalam merawat anak tunagrahita. Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada beban dan tingkat ansietas keluarga sebelum dan sesudah mendapatkan terapi suportif kelompok pada kelompok intervensi dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada beban keluarga sebelum dan setelah terapi suportif kelompok pada kelompok kontrol.
Daftar Pustaka
Armatas, V. (2009). Mental Retardation: definitions, etiology, epidemiology and diagnosis. Journal of Sport and Health Research. 1(2), 112-122.
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : PT. Refika Aditama.
Febrisma, N. 2013. Upaya Meningkatkan Kosakata Melalui Metode Bermain Peran pada Anak Tunagrahita Ringan (PTK kelas DV di SLB Kartini Batam). Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1 (2), 1-13.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok : Lembaga Pengembanagn Sarana Pengukuran dan Pendisikan Psikologi (LPSP) UI.
Masithoh, A.R. Aisyah, N. & Sholihah. (2014). Pengaruh Terapi Suportif Kelompok Terhadap Beban Keluarga Dalam Merawat Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Kaliwungu dan Purwosari. JIKK, 5 (1), 1-13
Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta : PT. Erlangga
Somantri, T. S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika Aditama.
Suparlan, Y.B. (1983). Pengantar Pendidikan Anak Mental Subnormal. Yogyakarta : Pustaka Pengarang.
Susanti, L. (2013). Meningkatkan Kemampuan Memakai Seragam Sekolah Melalui Media Model Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1 (2), 1-17.
Tomasulo, D.J. (2014). Positive Group Psychotherapy Modified For Adults with Intellectual Disabilities. Journal of Intellectual Disabilities, 1-14.
No comments for "Anak Berkebutuhan Khusus: Tunagrahita"
Post a Comment