Teori Psikologi: Memahami Anak Autisme
Teori Psikologi: Memahami Anak Autisme
Dalam DSM-IV (seperti juga dalam ICD-10) autisme ditempatkan dibawah kategori “gangguan perkembangan pervasif”, antara “retardasi mental” dan “gangguan perkembangan spesifik” (gangguan belajar: disleksia, dll).
2. Bukan Penyakit Mental Maupun Psikosis (penyakit kejiwaan)
Penting untuk diingat bahwa autism tidak lagi dikelompokkan sebagai penyakit mental atau psokisis seperti dahulu. Istilah “penyakit mental” menunjukkan bahwa bentuk perawatan mula-mula bersifat psikiatrik (kejiwaan); ketika perawatan psikiatrik terbukti cukup berhasil maka kemudian diberikan perhatian kepada (beberapa bentuk) pengasuhan dan didikan. Sedangkan dalam kasus gangguan perkembangan pervasif, pendidikan khusus merupakan prioritas pertama dalam perawatan (pendidikan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi penyandang autism dalam kesehariannya (situasi tertentu dibutuhkan perawatan psikiatrik).
Perbedaan penting lainnya adalah menyangkut hasil akhir perawatan. Seseorang yang sakit mental, dulu pernah “normal” sehingga diusahakan untuk membuatnya “normal” kembali. Dalam kasus autisme kita harus menerima kenyataan bahwa gangguan perkembangannya bersifat permanen (tetap). Karena itu tujuan perawatannya adalah untuk mengembangkan berbagai kemungkinan seseorang mampu mengatasi keterbatasan yang dimilikinya.
3. Tidak Mampu Tidak Sama dengan Tidak Mau- Tanpa Ketiadaan Motivasi
IQ yang rendah (60% penderita autism memiliki IQ di bawah 50) bukan merupakan akibat dari motivasi social yang lemah. Sejak awal, keterbelakangan mental dan autism berjalan seiring. Cara yang harus ditempuh para orang tua dengan bersabar dalam menerima reaksi-reaksi pengabaian dari penderita autism yang menafsirkan ketidakberdayaannya dengan ketidakbersediaan.
4. Apa Arti Sebuah Kata? sebutan dapat menyelamatkan hidup
Seseorang sering beranggapan bahwa tidak ada bedanya antara orang yang disebut “sakit mental” atau “keterbelakangan mental/cacat perkembangan mental”. karena menurut orang awam hal tersebut hanya istilah saja. Namun sesungguhnya sebutan yang sama terhadap kedua gangguan tersebut sangat berdampak besar bagi penyandang autisme. Mereka pada umumnya menjadi korban dari kekeliruan menggunaan kata yang tepat sering diperlakukan seperti orang yang sakit mental dan hal itu yang membuat mereka tersiksa.
5. Orang Tua Memerlukan Kejelasan: mereka memerlukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mereka
Kurangnya informasi mengenai gangguan autisme dari para ahli untuk orang tua penyandang autisme membuat orang tua bingung untuk melakukan perawatan seperti apa untuk sang anak. Bahkan tidak sedikit orang tua penyandang autism membuat diagnose sendiri buat sang anak. Dan hal tersebut merupakan cara yang salah dan tidak akan memperbaiki semuanya. Perlu diketahui, khususnya bagi yang memiliki keluarga yang menyandang autism bahwa suatu gangguan perkembangan pervasif menuntut fasilitas khusus seumur hidup bagi penyandang autisme.
6. Autisme dan Cacat Mental: Harapan yang Realistik bagi Masa Depan
Orang yang menyandang cacat mental ringan mencapai nilai antara 52 dan 67 dalam tes IQ. Penyandang cacat mental ringan ini dapat berpakaian dan mengusahakan sendiri kebersihan diri mereka. Mereka juga diharapkan dapat berkomunikasi dengan kalimat-kalimat yang sulit serta memiliki kemampuan bekerja yang cukup baik serta kelompok ini juga memiliki kemampuan yang beragam.
Nilai tes IQ penderita keterbelakangan mental tingkat sedang merosot hingga 36 sampai 51. Perilaku penyesuaian diri penderita keterbelakangan tingkat sedang dapat meliputi makan, mandi, dan berpakaian sendiri, dan komunikasi dalam percakapan sederhana serta membaca secara terbatas. Kemampuan bekerja terbatas pada tugas-tugas rutin. Mereka sering ditempatkan dalam kelas “yang dapat dilatih” di seklah-sekolah, dan sedikit dari kelompok ini yang berhasil meraih kehidupan mandiri sebagai orang dewasa.
Cacat mental berat dikaitkan dengan nilai IQ antara 20 sampai 35, dan fungsi kemandirian hanya diharapkan pada bidang-bidang terbatas, seperti mencuci muka dan tangan atau melakukan perintah-perintah sederhana. Kemampuan social dan komunikasi sangat terbatas, dan kegiatan kejuruan membutuhkan pengawasan yang hati-hati.
Cacat mental dengan IQ 19 ke bawah dianggap sangat terbelakang. Jumlah mereka relatif sedikit, tetapi cacat kognisi mereka begitu berat sehingga menyebabkan tergantung secara total dalamsebagian besar bidang fungsi.
7. Memaknai Dunia Secara Berbeda: Benda-Benda Sebagai Alat Komunikasi yang Dapat Dipahami
Sesungguhnya penyandang autisme berusaha memahami kehidupan dengan cara mereka sendiri. Salah satunya dengan benda-benda yang mereka identikkan dengan suatu kegiatan dan apabila kemauan penyandang autisme tidak dipahami maka mereka akan mengamuk. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun penyandang autisme sulit menggunakan kata-kata dalam berkomunikasi dan melakukan pemahaman abstrak maka mereka akan melakukan asosiasi-asosiasi persepsi kongkrit/nyata.
Pada dasarnya ketidakmampuan penyandang autisme dalam merpersepsikan dan memaknai apa yang disediakan lingkungan berdampak pada penyesuaian mereka terhadap suatu tempat (ruangan) di mana mereka berada. Jika lingkungan mampu memahami dan mengerti keadaan mereka maka penyandang autisme akan termotivasi untuk menyesuaikan diri walaupun mereka sadar dirinya berbeda dengan orang lain. Namun apabila mereka diasingkan dalam lingkungannya, maka mereka akan merasa terbuang dan terkucilkan.
Penyandang autisme sangat sulit memahami sesuatu yang abstrak “durasi”, jika mereka berada pada suatu tempat mereka tidak akan mudah untuk dialihkan ketempat lain. Apabila mereka dipindahkan ke tempat yang berbeda tanpa penjelasan yang mereka mengerti maka mereka akan marah dengan perubahan tempat yang dialaminya. Maka dari itu penyandang autisme dinggap perlu untuk diberi pelatihan mengenai waktu. hal serupa pula perlu dilakukan bila kita memberikan tugas pada penyandang autisme. Sebaiknya mereka diberi pengertian mengenai berapa lama dia melakukan tugas tersebut. Karena penyandang autisme juga sama dengan orang normal yaitu menginginkan akhir yang jelas dari apa yang Ia kerjakan dalam hidupnya.
REVIEW BUKU
Judul : Panduan Autisme Terlengkap
Pengarang : Theo Peeters ( Penerjemah: Oscar H. Simbolon
& Yayasan Suryakanti- Bandung)
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
No comments for "Teori Psikologi: Memahami Anak Autisme"
Post a Comment